KATA
PENGANTAR
Puji
syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat-Nya yang telah memberikan jalan dan pemikiran sehingga makalah yang
berjudul PANDANGAN AGAMA ISLAM TERHADAP ADOPSI dapat
terselesaikan dengan cukup baik.
Adalah suatu kehormatan bagi penulis untuk
menyajikan makalah ini dalam rangka untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama
Islam.
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung, yaitu :
1. Masroni
Nashir
2. Bapak
dan Ibu Dosen Poltekkes Kemenkes Malang Jurusan Kebidanan Prodi Kebidanan
Kediri.
3. Rekan-rekan
tingkat 1A yang telah memberi dukungan kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran demi kebaikan karya tulis
ini pada masa mendatang akan sangat membantu penulis. Semoga karya tulis ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Kediri,
September 2013
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL.........................................................................................................................
i
KATA
PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR
ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan ......................................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian Adopsi ........................................................................................... 2
B. Hukum Adopsi Anak Dalam Pandangan Agama Islam .................................. 3
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………..
7
B. Saran………………………………………………………………………....
7
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 8
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Anak
merupakan anugerah dari Allah SWT. Ia merupakan buah hati antara dua pasangan
suami istri yang sah menurut hukum dan agama. Anaklah yang membuat sebuah
keluarga menjadi bahagia dan sempurna. Ia lahir dari rahim seorang ibu yang
mengandungnya. Ia diasuh oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang dan kebahagiaan.
Orang tualah yang mendidiknya menjadi anak yang lebih baik sejak ia kecil.
Pendidikan yang paling utama dan awal merupakan pendidikan dari orang tua
mereka masing-masing.
Akan
tetapi tidak semua anak dapat mendapatkan kasih sayang dan kebahagiaan dari
orang tuanya. Bagi anak-anak yatim piatu maupun anak-anak terlantar jarang yang
bisa mendapat kasih sayang bahkan ada juga yang belum pernah mendapatkannya.
Karena sejak kecil orang tua mereka ada yang sudah meninggal dunia. Mereka
tidak pernah mendapatkan pendidikan dari orang tuanya sendiri. Mereka juga
banyak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Lingkunganlah yang
membentuk dan mempengaruhi karakter anak-anak tersebut. Mereka akan mencari
jati dirinya sesuai dengan lingkungan luar yang kadang kurang baik untuk
membentuk karakter anak. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka ada yang menjadi
pengemis, pemulung, pengamen jalanan, dan sebagainya. Bahkan ada juga yang
melakukan tindakan-tindakan yang negatif, seperti mencuri.
B. Rumusan
Masalah
a. Apa
yang dimaksud dengan adopsi?
b. Bagaimana
hukum adopsi menurut pandangan Agama Islam?
C. Tujuan
a. Untuk
mengetahui maksud dari adopsi.
b. Untuk
mengetahui hukum mengadopsi anak menurut pandangan Agama Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Adopsi
Secara etimologi adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa
Belanda atau “adopt”(adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak,
mengangkat anak. Dalam bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Prof. Mahmud
Yunus diartikan dengan “ mengambil anak angkat” sedang dalam Kamus Munjid
diartikan“ittikhadzahu ibnan” , yaitu “ menjadikannya sebagai anak. Adopsi
adalah pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas
nasabnya untuk dijadikan anaknya sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi
kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Rosulullah
SAW pernah melakukan adopsi, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai
anaknya.
Adopsi dibagi
menjadi dua, yakni:
1. Mengangkat
anak orang lain untuk dijadikan anaknya sendiri tanpa memberi status sebagai
anak kandungnya sendiri.
2. Mengangkat anak orang lain untuk
dijadikan anaknya sendiri dan memberi atatus sebagai anak kandung sehingga ia
berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisiharta peninggalannya, dan
hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dan orang tua.
Menurut
Hilman Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan bahwa anak
angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat
dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan
keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Sedangkan surojo
wingjodipura, S.H. mengatakan bahwa
adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain
kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yag memungut anak
dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti
yang ada diantara orang tua dan anak.
Dalam
hukum positif Indonesia telah diberi beberapa peraturan yang terdapat dalam
perundang-undangan Indonesia yang memberikan pengertian khusus tentang
pangangkatan anak dan anak angkat, yakni sebagai berikut:
a.
Menurut Pasal 1 butir 2
Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak,
pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak
dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
b.
Sedangkan pada Pasal 1 butir 9
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak
abgkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan dan pembesaran anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
B.
Hukum Adopsi Anak
Menurut Pandangan Agama Islam
Dalam
ajaran Agama Islam antara orang tua angkat dan anak angkatnya tidak ada
hubungan nasab. Nasab adalah legalitas (keabsahan; perihal atau keadaan sah)
hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah, sebagai salah satu
akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat
(zina). Dengan adanya hubungan nasab seseorang berhak untuk mendapatkan
hak-hak, seperti hukum warisan, pernikahan, perwalian dan sebagainya.
Hukum
adopsi di atur dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 4-5, sebagai berikut:
Artinya:
(4) Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah
hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[1198]
itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (5)
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu[1199]. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Q.S. Al-Ahzab:
4-5)[1]
Surat Al-Ahzab ayat 4-5 tersebut dalam garis
besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
a) Allah
tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia.
b) Anak
angkatmu bukanlah anak kandungmu.
c) Panggillah
anak angkatmu menurut nama bapaknya.
Dari ketentuan di atas sudah jelas bahwa yang
dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal.
Dalam ayat lain tentang kisah pernikahan sahabat
Zaid bin Haritsah radhiyallahu’anhu 9yang pernah menjadi anak angkat Rasulullah
SAW, sebelum adanya pelarangan) dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu’anha,
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 37:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang
yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi
nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada
Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[1219]
supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri
anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya[1220]. Dan adalah ketetapan
Allah itu pasti terjadi."[2]
Mengangkat
anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri (waladush
shulbi au radha’) hukumnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan penjelasan
hadist dari beberapa kitab, yaitu:
1.
Kitab Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani
al Tanzila
Sungguh Nabi Saw.
bersabda: “Barangsiapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa
orang tersebut memang bukan bapaknya, maka surge diharamkan terhadap dirinya.”
2.
Kitab Ma’alim al-Tanzil
Qatadah berkata:
“Siapa pun tidak boleh berkata tentang Zaid bin Haritsah: “Zaid bin Muhammad.
“Jika seseorang dengan sengaja mengatakan seperti itu, maka ia telah maksiat,
dan barangsiapa bermaksiat kepada Allah Swt. Dan Rasul-Nya, maka niscaya ia
tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh.”
Islam tetap membolehkan adopsi dengan ketentuan :
1. Nasab anak angkat tetap dinisbatkan kepada
orang tua kandungnya, bukan kepada orang tua angkatnya.
2. Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam,
tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak
kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan mahram, maupun wali ( dalam
perkawinan ).
3. Karena anak angkat itu tidak boleh menerima
harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari
orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan
orang tua angkatnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Adopsi dalam bahasa Arab
disebut “Tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “ mengambil
anak angkat” sedang dalam Kamus Munjid diartikan“ittikhadzahu ibnan” ,
yaitu “ menjadikannya sebagai anak. Adopsi adalah pengambilan anak yang
dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya untuk dijadikan
anaknya sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah
pendidikan dan keperluan lainnya.
2. Hukum adopsi dalam islam adalah di
bolehkan, bahkan dapat dikatakan sebagai amal istimewa karena mereka bisa
mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Dengan syarat tidak memperlakukan
anak tersebut persis seperti anak kandungnya sendiri dalam penisbatan namanya,
dalam hukum kemahraman dan kewarisan. Dan anak yang diangkat tersebut tetap
dinisbatkan kepada nama bapak kandungnya. Jika dalam pengangkatan tidak sesuai
dengan syarat tersebut maka dalam Islam hukumnya adalah haram. Hal ini sesuai
dengan Alquran surat Al-Ahzab ayat 4-5.
B.
Saran
1.
Bagi masyarakat khususnya yang
mempunyai keinginan untuk mengangkat atau mengadopsi anak sebaiknya mengetahui
terlebih dahulu persyaratan-persyaratan dan hukum yang berlaku.
2. Penulis menganggap bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritikan dan saran yang bersifat membangun, mendidik masih sangat kami harapkan
demi perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahfudh, Sahal MA.2011.Solusi
Problematika Aktual hukum Islam.Surabaya:Khalista.
[1] [1198]. Zhihar ialah perkataan seorang suami
kepada istrinya: punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku atau
perkataan lain yang sama maksudnya. Adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang
Arab Jahiliyah bahwa bila dia berkata demikian kepada istrinya maka istrinya
itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam datang, maka
yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali
halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).
[1199].
Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang
yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil
maula Huzaifah.
[2] [1219]. Maksudnya: setelah habis idahnya.
[1220]. Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
[1220]. Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
No comments:
Post a Comment